Sunday 4 September 2011

Gender Roles in Developing Countries and Wealthy Western Countries

In the age of woman power it is easy to think that women are now equal to men. But have all women achieved full equality in the world society today?
A recent report reveals that in many countries around the world, women are still discriminated against, abused and treated as second-class citizens - just because they are women.
In some developing countries, women play their roles precisely at home. The stereotypes of women in those countries usually say that women are stalwart of household, succumbing to the authority of their husband, and sacrificing everything for their children.
The culture in those countries also forbid women to take a role in the society. Nearly everywhere, the gender ideology of those countries emphasizes men as community leader and decision makers. Men predominate at all levels in the society. In a poor developing country like Cameroon for example, the young boy is privileged to have a good education, while the girls go to fetch water from streams.
Those facts are really different from the situation of the women in wealthy western countries today. In contrast to women's life in poor developing countries, a lot of women in wealthy western countries pursue their career outside home to fulfill their individual desires and to gain success.
In a wealthy country like England, women in position of power are something that English don't have problem with accepting. England had a queen who had political influence. And the election of Margaret Thatcher as prime minister displayed England's desire to have people in leadership role according to ability not the gender. In the USA, women also play important role in the government, like Hillary Rodham Clinton. It shows us that women can be a huge influence for a nation.
When it comes to equalization to get equal education with men, western countries have no problem with it. In Norway, boys and girls have the same right to go to school. Norway is also so-called equal status country where workers at all levels are considered equally important and take part in decision making.
These two different facts are actually concerning me as a woman. We're now living in the 21st century, where modernization and globalization are happening. The modernization means to increase educational opportunities for men and women. Women should be redefined to deal with the new challenges in this global world.
I believe that the culture "men on top" in some developing country will adjust according to modernization. There are a lot of possibilities for the concerned women in developing countries to pursue their career and catch their dreams. The women should keep their spirits and they should not give up and comply with the authorities which forbid them from gaining success.




I wrote this essay for my final assessment while I was studying in Norway.

Wednesday 3 August 2011

Sosok pemimpin ideal bagi Indonesia?

Blog yang saya tulis kali ini adalah untuk menanggapi tulisan dari bapak Anies Baswedan di harian Kompas 25 Juli 2011 yang berjudulu Peringatan bagi Pemimpin


Ketika pertama kali saya membaca tulisan bapak Anies Baswedan tersebut,  muncul pertanyaan-pertanyaan di dalam benak saya: Mau dibawa kemana Indonesiaku nanti? Bagaimanakah sosok pemimpin ideal bangsa ini? Apa yang harus saya lakukan untuk melakukan perubahan-perubahan? mendorong yang macet, membongkar yang buntu, dan memangkas benalu?

Banyak yang bilang bahwa bangsa kita ini masih tertidur, masih prematur, masih baru sebagai negara (menjelang peringatan kemerdekaan yang ke 66 tahun). Tidak! Hentikan tudingan-tudingan itu. Kawanku, sesungguhnya bangsa Indonesia sekarang adalah tidak dalam keadaan tidur. Bangsa kita ini sekarang ini dalam proses membangun, memperkuat, menuju ke arah yang lebih baik.

Lihatlah orang-orang di sekitar kita yang mulai bekerja sebelum fajar terbit, penjual-penjual di pasar yang membuka gerai, pelajar-pelajar yang berbondong-bondong pergi pagi-pagi ke sekolah untuk menuntut ilmu. Guru, nelayan, petani, pekerja kantoran; semua berusaha mencari peluang dan memanfaatkan kesempatan untuk hidup yang lebih baik. Rakyat kita itu hebat. Tangguh. Bukan bangsa pemalas.

Menurut saya, sebuah bangsa adalah ibarat kapal mesir. Kapal mesir? ya, kapal besar yang dan indah. Kapal yang menggunakan tenaga manusia sebagai bahan bakarnya untuk berlayar (dengan cara mendayung) . Ibaratnya, bangsa Indonesia saat ini adalah sebuah kapal mesir yang sedang mengarungi lautan biru yang luas. Semua bahu membahu menggerakkan kapal ini agar tidak karam di tengah laut. Agar rakyat di kapal ini dapat mengayuh kapal ke arah yang benar, maka dibutuhkanlah seorang kapten yang dapat mengarahkan dan mengkomando dengan benar. Kapten yang dapat mengemban harapan seluruh awak kapal untuk sampai ditujuan dengan selamat.

Yang saya lihat har ini adalah, kapal kita, republik tercinta ini, sedang terombang-ambing di tengah lautan. Sumbernya bukan dari awak kapal, melainkan berasal dari kapten yang belum tau mau dibawa kemana kapal ini. Kapten yang belum percaya diri akan strategi-strategi untuk mewujudkan harapan awaknya.

Rakyat kita sudah bekerja keras dilihat dari berbagai sektor. Yang dibutuhkan adalah realitas dari janji-janji yang telah dibuat oleh pemimpin bangsa ini. Tapi kapan janji-janji itu akan diwujudkan? kapan kapal kita dapat sampai di tujuan dengan selamat?

Bangsa ini membutuhkan seorang pemimpin yang mampu bersikap adil, jujur, tegas, dan bekerja keras. Pemimpin yang dapat mengarahkan bangsa ini dengan visi dan misi yang jelas. Pemimpin yang dapat merealisasikan janji-janjinya.
Apakah kita sebagai generasi muda akan mampu mengemban tugas ini? jawabannya adalah mampu. Kita sebagai generasi muda sebaiknya mulai memikirkan mau dibawa kemana kapal kita ini 10 tahun mendatang, 20 tahun mendatang, dan seterusnya. Kita sebagai generasi muda harus siap untuk membangun bangsa ini dan bekerja keras. Ini semua untuk perubahan yang lebih baik, untuk diri kita sendiri, untuk anak cucu kita nanti.

Tuesday 2 August 2011

Ski

Olahraga Ski..
Hmmm.. mungkin di Indonesia olahraga ini tidak begitu populer. Tapi lain hal nya dengan di daerah Nordic(Norway, Sweden, Finland).
Ski sejatinya adalah dua papan kayu yang digunakan untuk meluncur di atas salju. Dahulu, papan ski digunakan oleh para pemburu untuk berburu pada musim dingin. Kini ski menjadi salah satu cabang olahraga yang cukup digemari oleh khususnya penduduk daerah Eropa utara. Meskipun olahraga ini tidak begitu diminati oleh penduduk Asia, sebenarnya papan ski tertua tidak ditemukan di daerah Nordic, melainkan di China!

Saya mulai menggeluti olahraga ski saat saya berada di Norway. Tepatnya pada bulan Oktober-November.  Olahraga yang terlihat mudah ini ternyata tidak mudah sama sekali! Awalnya saya kira cukup saja meluncur dengan menggerakkan kaki secara bergantian , namun nyatanya ski membutuhkan lebih dari sekedar meluncur. Dalam olahraga ini, balance, kontrol emosi, konsentrasi, dan keberanian sangat dibutuhkan. Saya membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menguasai tehnik-tehnik dasar olahraga ski, khususnya dalam mengontrol kecepatan. Dalam waktu berbulan-bulan itu bukan hanya sekali-dua kali saya terjatuh. Mungkin kalau dihitung sudah ratusan kali.
Pelajaran yang saya ingat dari latihan ski adalah "Jangan pernah menyerah". Setiap kali saya terjatuh, orang tua angkat saya akan mendatangi saya tanpa menyodorkan tangan untuk membantu saya berdiri, melainkan mengatakan "kalau jatuh berdiri lagi. Gunakan semua tenagamu untuk berdiri lagi dan melanjutkan". Pengalaman ini menjadi salah satu pembelajaran terpenting bagi saya untuk tidak mudah menyerah.

Melalui blog yang saya tulis kali ini, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga angkat saya di Norway untuk pengalaman yang tidak terlupakan.

Tusen takk Spigset familien :)

Wednesday 16 February 2011

Bahagianya Orang Iklas

Beberapa minggu yang lalu, saya sempat bersedih atas suatu kejadian yang menimpa Ayah saya. Ayah saya sudah beberapa tahun menduduki sebuah jabatan. Setelah kurang lebih 4 tahun menjabat, diadakanlah pemilihan kembali untuk menduduki posisi tersebut. Ayah saya mengikuti pemilihan tersebut (kembali seperti 4 tahun yang lalu), namun Ayah saya tidak terpilih kembali untuk memegang amanah tersebut. Cukup banyak yang mempertanyakan keputusan atasan Ayah mengingat beberapa tahun ini kinerja Ayah bisa dikatakan gemilang. Ayah tidak kecewa atas keputusan atasan beliau. Dengan besar hati beliau menerima keputusan tersebut dengan lapang dada.

Kejadian yang menimpa Ayah mengingatkan saya pada tauziah yang disampaikan K.H. Abdullah Gymnastiar mengenai Khalid Bin Walid, komandan pasukan di Perang Yarmuk.

Berpikirlah terus, bagaimana caranya agar amal kita diterima Allah. Tidak usah mengharap balas jasa, pujian, atau keuntungan sesaat. “Ketahuilah, hari ini adalah hari Allah. Tidak boleh ada kesombongan dan sikap melampaui batas. Ikhlaskan niat kalian untuk berjihad dan carilah ridha Allah dengan amal kalian“.
Inilah yang disampaikan Khalid bin Walid di hadapan komandan pasukannya menjelang Perang Yarmuk.

Tak lama kemudian, datanglah utusan Khalifah membawa sepucuk surat untuk Khalid bin Walid. “Pedang Allah” ini segera membacanya. Di dalamnya tercantum beberapa hal, termasuk berita wafatnya Khalifah Abu Bakar dan dan beralihnya kendali kekhalifahan ke tangan Umar bin Khathab. Yang terpenting, Khalifah Umar mencopot jabatan panglima perang yang disandang Khalid bin Walid, dan mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai penggantinya.
Bagaimana sikap Khalid? Ia menerima pemberhentian tersebut dengan sikap ksatria. Tidak sedikit pun kekecewaan dan emosi terpancar dari wajahnya. “Aku tidak berperang untuk Umar. Aku berperang untuk Tuhannya Umar,” demikian ungkapnya.
Ia segera mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah untuk menyerahkan kendali kepemimpinan. Setelah itu ia berperang habis-habisan di bawah komando mantan anak buahnya tersebut. Padahal, masa itu adalah masa keemasan Khalid bin Walid.
Saudaraku, betapa bahagianya Khalid bin Walid. Lihatlah, betapa mudahnya ia menyerahkan jabatan kepada anak buahnya, lalu berperang habis-habisan sebagai seorang prajurit. Orientasi perjuangannya adalah Allah, bukan jabatan, ketenaran dan kepuasan nafsunya.
Kita harus mulai mengevaluasi diri. Boleh jadi kita sibuk beramal, namun tidak sibuk menata niat. Sehingga amal-amal yang kita lakukan tidak ada nilainya di hadapan Allah. Seorang ibu mengandung selama sembilan bulan, ia tidak mendapatkan apa-apa selain rasa sakit, bila kehamilannya itu disikapi dengan keluhan. Demikian pula seorang bapak yang siang malam bekerja, ia tidak mendapatkan apa-apa selain rasa lelah, bila tidak karena Allah. Karena itu, jangan hanya sibuk beramal, tapi sibukkan pula dengan meluruskan niat.
Bagaimana agar kita bisa ikhlas? Tekniknya sederhana. Pusatkan pikiran dan amal hanya untuk Allah. Berpikirlah, bagaimana agar amal kita diterima Allah. Titik. Tidak usah mengharap balas jasa, pujian, atau keuntungan sesaat. Lakukan yang terbaik, sampaikan dengan cara terbaik, berikan yang terbaik, dan dengan hati terbaik.

Saudaraku, orang ikhlas itu pasti bahagia dalam hidupnya. Sebab, Allah SWT akan menganugerahkan enam ciri (keutamaan) dalam hidupnya.

[1] Jarang kecewa terhadap dunia. Orang ikhlas tidak mengharapkan apapun dan dari siapapun. kenikmatan baginya bukan dari mendapatkan, tapi dari mempersembahkan. Sebaliknya, orang yang tidak ikhlas akan banyak kecewa dalam hidup, karena banyak berharap dari makhluk.

[2] Tidak pusing dengan penghargaan
. Baginya orang ikhlas dipuji atau dicaci sama saja, asalkan apa yang ia lakukan benar caranya dan lurus niatnya.
[3] Tidak membeda-bedakan amal besar dan amal kecil. Orang ikhlas tidak sibuk melihat besar kecilnya amal. Ia hanya sibuk dengan apa yang disukai Allah. Tidak ada yang kecil di hadapan Allah. Yang kecil hanyalah amal yang tidak ikhlas.
[4] Nikmat berbuat amal. Kebahagiaannya bukan dari mendapatkan pujian, namun dari optimalnya amal. Karena itu, orang ikhlas akan tangguh dan istikamah dalam ibadah.
[5] Tidak menonjolkan “bendera”. Orang ikhlas tidak berjuang untuk satu kelompok tertentu. Ia berjuang hanya untuk Islam. Kelompok/bendera hanyalah sarana/alat untuk mencapai tujuan.
[6] Tidak ditipu setan. Allah SWT mengabadikan ucapan Iblis dalam Alquran. “_pasti aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas” (QS Al Hijr [15]: 39-40). Wallaahu a’lam.

Mampukah Kita Mencintai Tanpa Suatu Sarat?

Hari ini saya lagi iseng-iseng surfing internet. Dan ketemulah sebuah blog yang cukup mengagumkan. Jujur, saya menangis membaca blog ini.

Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam, Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. Mereka menikah sudah lebih dari 32 tahun.
Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya di depan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2 saja yg dia alami seharian.
Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka, sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.
Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing2 dan Pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia yg merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.
Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata ” Pak kami ingin sekali merawat ibu semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu, tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……. …bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu.” dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya “sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji kami akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”.
Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2 mereka.
“Anak2ku…. ….. Jikalau perkawinan & hidup didunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah….. .tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian.. sejenak kerongkongannya tersekat,… kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat dihargai dengan apapun. coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti Ini.
Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan bapak yg masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yg masih sakit.”
Sejenak meledaklah tangis anak2 pak suyatno merekapun melihat butiran2 kecil jatuh di pelupuk mata ibu Suyatno.. dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu.. Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa2..disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuan pun tidak sanggup menahan haru disitulah Pak Suyatno bercerita.
*”Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi (memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian ) adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak yg lucu2..
Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama..dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit,,,”

Tuesday 8 February 2011

Alltid morsomt å være nummer én

"Jeg er et litt barnslig konkurransemenneske. Jeg synes alltid det er morsomt å være nummer én, enten det er i «Stein, saks eller papir», eller på en bokliste." - Jo Nesbø

I am a bit childish competitive person. I think it's always fun to be number one, whether it is in a "rock, scissors or paper", or a book list.